Jumat, 07 Mei 2010

Muhsinul Authon
Ponorogo, 11 November 2009

Sudahlah…

Habis sudah dagangan Sudar yang ia bawa sejak subuh tadi. Walaupun masih pukul setengah sebelas, ia memutuskan untuk menghentikan laju sepeda motornya, menghentikan pada sebuah parkir rumah makan yang sebelumnya belum pernah ia kunjungi. Maklum, hari ini dagangannya laris manis, jadi ada uang lebih untuk sekedar menikmati makanan yang lebih enak. Disapu keringat yang mengalir di wajahnya, setelah menyandarkan helm bututnya di kaca spion kanannya, dengan handuk kecil yang sudah tidak jelas apa warna aslinya. Dengan langkah yang lelah, namun wajahnya menunjukkan ada kegembiraan—antara laba hari ini yang bisa dibilang lebih dan akan menikmati hidangan yang nama dan rasanya belum pernah dia kenal—dia memasuki rumah makan tersebut.

Dia seperti memasuki surga, selangkah memasuki rumah makan itu, sejuknya udara AC menyapu wajahnya. Memang, dia habis bertarung di tengah terik yang menyengat. Kepalanya menengok kanan-kiri, mencari tempat yang kosong. Tampaknya dia mengalami sindrom orang susah yang berada di tengah-tengah orang-orang yang kelas sosialnya lebih tinggi darinya, minder. Dilihatnya, ada beberapa orang polisi yang tampak duduk dalam satu meja, dengan tertawa-tawa tampak membicarakan sesuatu yang lucu. Ada juga orang-orang yang berpakaian coklat alias pegawai Pemda sedang menikmati makanannya. Di sisi lain, tampak sekeluarga yang terlihat cukup harmonis dan bahagia, dengan dua anak yang bermain-main;saling mengejar mengelilingi meja yang ditempati orang tuanya. Sudar menemukan di sisi pojok tampak ada tempat kosong, segera saja dia menuju ke sana.

Diambil dan dilihatnya dengan segera daftar menu, dia teliti satu-persatu. Pelayan menghampirinya, “Pesan apa Bapak?”. Sudar tampaknya tidak tahu pelayan cantik dan seksi itu sudah di sisinya, dia melongok ke arah pelayan itu dengan sedikit terkejut, “Sebentar Mbak”. Dia bingung memilih menu, bukan karena banyak pilihan menu yang lezat-lezat, tetapi karena banyak istilah yang baru dia kenal. Dia kemudian tersenyum, “steak ayam aja Mbak, sama es teh.” Memang, itulah satu-satunya menu yang sebelumnya pernah dia kenal dan dia rasakan walaupun hanya sekali. Dia tidak mau ambil resiko untuk memilih menu yang sama sekali belum pernah dia rasakan, dia tidak mau berspekulasi. Tampaknya pola pikir itulah yang selama ini akrab dengan Sudar dan orang-orang seperti dia, selalu memutuskan sesuatu pada titik aman, dengan tingkat resiko kecil, termasuk dalam prinsip ekonominya, sehingga kalaupun rugi kecil, dan untung pun juga kecil. Juga dalam memilih harga menu makanan. Ya.., cuma Rp 10.000,- saja.

***

Kunikmati sekali steak ayam ini sampai habis, walaupun bagiku makanan ini tidak membuatku cukup kenyang. Tapi hari ini aku cukup kenyang, dengan sedikit keuntungan yang akan aku bawa pulang, juga dengan pengalamanku mampir ke resto yang aku bilang cukup high class menurutku.

Setelah kuakhiri dengan hidangan penutup berupa sebatang Sampoerna Hijau, segera saja aku ke kasir, “Sudah Mbak, berapa Mbak?”. “O ya Pak, sebentar?” dengan tersenyum petugas kasir melayani dengan ramah, jauh sekali jika dibandingkan dengan petugas pelayanan KTP di kecamatan, apalagi petugas pelayanan SIM di Polres. Tampaknya profesionalitas lebih tampak di lingkungan swasta. “Kenapa negara ini nggak dibuat swasta saja ya? Hehehe…” “Meja nomer 12 ya Pak?” Petugas kasir itu mengagetkanku dari lamunan. “Ya Mbak.” Sambil menyerahkan struk, petugas itu memberitahukan, “Maaf Bapak, tadi bon-nya sudah dibayar sama Ibu yang duduk di meja 8, jadi Bapak nggak perlu mbayar lagi. Tapi barangkali kalau Bapak tadi nambah?” Aku bingung, segera kuarahkan pandanganku ke meja nomer 8. “Maaf Bapak, Bapak tadi barangkali ngambil makanan ringan?” “O ya maaf Mbak, nggak nambah Mbak, terima kasih Mbak.” Pandanganku masih tertuju pada meja nomer 8, kulihat ada sepasang suami istri dengan satu anaknya, aku merasa kenal wajah perempuannya, tapi siapa dia aku tidak ingat. Aku masih berdiri di depan kasir, hingga ada orang yang mengalihkan pandanganku dari meja nomer 8, “Mas, saya mau mbayar!” “O nggih Pak, maaf, silahkan.” Aku segera keluar, tapi tidak langsung pulang, aku sengaja duduk di pos satpam, terpikir untuk mencari tahu siapa perempuan tadi. “Pak Satpam, boleh numpang duduk sebentar”, aku ijin pada salah seorang satpam yang sedang berjaga. “O ya, silahkan Pak.” Aku penasaran betul, wajahnya, walaupun tadi cuma sekilas kulihat, aku merasa tidak asing. Sementara aku duduk di bangku dengan berbagai pertanyaan penasaranku pada perempuan di meja nomer 8 tadi, dua orang satpam tidak mempedulikanku, mereka asik berhadap-hadapan dengan buah caturnya. Sesekali mereka berhenti bermain untuk memberi aba-aba pada mobil yang akan diparkir.

Selang beberapa saat, seorang laki-laki dengan memakai baju safari coklat dengan membawa bungkusan tas kresek warna putih yang bertuliskan “PELANGI RESTO” keluar dari dalam rumah makan itu. Disusul seorang perempuan yang menggendong anak perempuannya. Aku sudah mendapati perempuan tadi, tak kubiarkan dia lepas dari perhatianku. Keluarga tersebut menuju ke sebuah Mitsubishi Gallant warna biru. Lelakinya membukakan pintu untuk perempuan dan anaknya tersebut, tetapi sesaat sebelum masuk secara tiba-tiba pandangan perempuan itu tertuju padaku.

Aku serasa kesetrum dengan arus ribuan volt, tatapannya tajam, tidak kuketahui menyiratkan makna apa, tapi mendadak aku dilempar ke masa laluku. Aku merasa iri, sekaligus dihina. Aku merasa tidak berharga sama sekali. Aku merasa nelangsa. Tubuhku rasanya lemas tak berdaya. Waktu beberapa detik sebelum dia memasukkan tubuhnya ke dalam mobil itu kurasakan terhenti begitu lama. Setelah menutup pintu mobil belakang, laki-laki itu masuk dan menyalakan mesin mobil dan melaju. Laju mobil yang meninggalkanku seolah kurasakan sama dengan perasaanku 15 tahun yang lalu, di mana aku merasa sendiri, sepi ditinggalkan.

Adzan dzuhur menyadarkanku, segera saja aku pamit pada Pak Satpam, “Pak, badhe pareng rumiyin, matur suwun.” “Nggeh Pak” dengan masih berkonsentrasi pada buah-buah caturnya, tampaknya satpam tersebut menjawab sebagai formalitas saja. Aku tidak langsung pulang, aku ingin mendinginkan otak dan hatiku, mampir ke sebuah masjid kecil tak jauh dari lokasi rumah makan tadi. Dan kebetulan sholat jama’ah belum dimulai. Setelah kuambil air wudlu, aku masuk dan mendirikan sholat tahiyyatal masjid dua rakaat. Sesaat setelah salam muadzin mengumandangkan iqomah, pertanda sholat jama’ah segera didirikan. Setelah salam, aku terdiam, tidak berdzikir juga tidak berdoa, pikiranku masih kalut dengan perempuan tadi. Baru tersadar ketika jama’ah di sebelah kananku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Tampaknya perempuan tadi telah menyita kekhusyu’an sholatku.

Aku kemudian berdoa sebentar semoga Allah segera memberikanku ketenangan. Setelah itu aku menuju serambi, menuju sebuah tiang dan menyandarkan tubuhku disana. Kurogoh sebungkus rokok dari saku celanaku, barangkali sebatang rokok bisa menenangkanku. Kunyalakan dan kuhisap dalam-dalam. Tubuhku terasa lemas sekali. Beberapa jama’ah sudah beranjak meninggalkan masjid, sedangkan sebagian tampak masih khusyu’ dalam dzikirnya, sebagian lagi mendirikan sholat sunnah. Tiba-tiba dari pintu plastren, aku sungguh dikejutkan dengan perempuan di rumah makan tadi. Tubuhku yang semula lemas, secara spontan mendapatkan energi untuk sesegera mungkin beranjak pergi.







“Mas Sudar, tunggu!” Perempuan itu memanggilku. Aku terus melangkah menuju sepeda motor bututku, tapi panggilan itu berhasil memalingkan pandanganku ke arahnya. Walaupun begitu aku terus berusaha melangkahkan kaki untuk segera pergi. Dia tampak berlari kecil menghampiriku. Aku tak mempedulikannya. Segera kustater motorku, tetapi didahului sambaran tangannya ke lenganku. “Ada apa lagi Rin?” Ya, perempuan itu bernama Rina, dia adalah bagian masa laluku. “Maaf Mas, kalau lancang. Aku sekedar pingin tau gimana Mas Sudar sekarang? Aku cuma pingin sedikit ngobrol sama Mas.” Tatapannya mengisyaratkan kerinduan, kepalanya mengangguk seperti memohon dengan sangat kepadaku. Perlahan tangannya mulai dilepaskan dari lenganku. “Mas Sudar..?”, Rina merengek. Aku masih terdiam. “Mas, aku tadi sudah terpaksa berbohong sama suamiku, aku bilang mau ngambil laporan di kantor yang ketinggalan. Nana pulang bareng bapaknya. Masa Mas Sudar mau pergi begitu saja.” Kali ini dia mengiba. Sepertinya aku mulai tidak tega pada Rina atau barangkali tanpa kusadari aku mulai tertarik dengan ajakannya karena mungkin tanpa kusadari pula ada kerinduan dalam hatiku. “Baiklah, tapi jangan di sini, nggak enak dilihat orang. Kita nyari tempat lain aja.”

Setelah menyetater motor, Rina segera naik. Kami pun beranjak dari halaman masjid itu. Di perjalanan, entah karena ada bagasi di belakang motorku dengan tulisan “SUSU SEGAR”,—bagasi yang terpasang tepat di atas lampu belakang—kurasakan, secara naluriah Rina berpegangan dengan erat di pinggangku, dan tubuhnya menempel di punggungku, padahal motorku hanya berjalan sekitar 40 km/jam. Jantungku melaju cepat melebihi kecepatan sepeda motorku. Tampaknya Rina tidak banyak berubah, dia masih perempuan agresif seperti yang aku kenal sekitar 15 tahun yang lalu. “Rin..!”, aku mencoba mengingatkannya. “Maaf Mas.” Tangannya mulai dilepaskan. Aku lihat di depan ada café, segera saja kuputuskan untuk berhenti di sana. “Di sini saja Rin.”

Kami sudah memilih satu meja, aku memesan kopi, “Mau minum apa Rin?” “Lemon Tea aja Mas.” Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mulai membuka obrolanku dengan Rina, “Gimana kabarmu Rin?” “Seperti yang Mas lihat, aku baik-baik saja. Mas sendiri?” “Seperti yang kaum lihat Rin.” Pesanan kami sudah datang, kunyalakan sebatang rokok dan mulai kunikmati bersama secangkir kopi.

Masih segar di ingatanku, bagaimana cantiknya Rina 15 tahun yang lalu, tidak banyak berubah. Usianya yang hampir menginjak kepala empat tidak banyak menambah kerutan di wajahnya, mungkin karena dia pandai menjaga pesonanya. Kuperhatikan gerak-geriknya, dari cara dia berbicara, tersenyum, ternyata masih juga sempat mempesonaku. Bahkan dari caranya dia minum, menurutku sangat mempesona. Itulah orang yang sedang jatuh cinta, atau lebih tepatnya yang pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang kemudian bertemu dengan gadis itu.
Rina dengan agak ragu-ragu mulai membuka obrolan, dan aku yakin cuma sekedar basa-basi,

“Mas sekarang kerja di mana?”

“Ya, cuma dagang susu Rin, keliling ke perumahan-perumahan. Kamu sendiri?”

“Aku kerja di Diknas Mas.”

“Syukurlah kalau gitu, sekarang kerjamu dah enak.”

“O ya Mas, anak Mas sekarang berapa?”

Aku terdiam sebentar, pertanyaan itu terasa menyiksaku, “Aku belum nikah Rin.”

“Maaf Mas.” Rina tampaknya merasakan apa yang kurasakan.

Entah karena apa, secara spontan aku mulai memberanikan diri untuk meluapkan isi hatiku pada Rina, “Sejak kamu pamit nikah, aku sempat frustasi selama hampir 3 tahun, kuliahku hancur, ibuku kecewa karena aku nggak berhasil sarjana. Setelah itu aku memutuskan untuk kerja saja, pikirku itung-itung ganti suasana, biar nggak terlalu stress. Sudah 12 tahun aku bekerja menjadi penjual susu keliling. Hmm.., aku juga pernah tiga kali mencoba menikah, tapi selalu gagal di tengah jalan. Kudengar dari beberapa temanku, kata orang tua mereka karena aku cuma bekerja sebagai penjual susu, nggak bisa menjamin masa depan. Sampai pada akhirnya aku putus asa untuk mencari istri, ya... karena umurku sudah 40 tahun, mana ada yang mau. Yang tua sudah habis, yang muda sudah pasti nggak mau. Sampai aku berpikiran, sudahlah.., kujalani apa adanya. Aku nggak berpikiran terlalu tinggi lagi.”

Rina menundukkan kepala, mengambil tisu dalam tasnya, dan mengusap air matanya. “Maafkan aku Mas.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar