Jumat, 07 Mei 2010

Muhsinul Authon
24 Oktober 2009

Untung Aku yang Dibunuh

Mataku terbuka. Tapi tak tahu persis, sedang apa aku ini. Rasa-rasanya tubuhku sedang terbaring lemah. Tak ada ikatan yang membelitku, tak ada pasung yang mengekangku, tapi tubuh ini rasanya benar-benar terbelenggu. “Ya, aku seperti terbaring”, gumam dalam hatiku. Kurasakan tawar dan hambar, sepertinya aku tidak tahu apa yang disebut panas dan dingin, tidak pula aku merasa tenang atau gelisah.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kenapa aku ini, bagaimana ini bisa terjadi, tapi setelah lama aku berupaya aku tidak ingat apapun. Aku coba lagi, tak sedikitpun sisa memori yang berhasil aku temukan. “Ah, ternyata begitu rumit aku untuk mengingat apa yang sedang terjadi, aku harus mulai dari hal yang sederhana dulu.” Aku mencoba mengingat siapa aku. “Siapa aku?” “Siapa aku?” “Siapa aku?” “Siapa aku?” Berkali-kali aku tanyakan pada diriku sendiri tapi tak menemukan. Aku putus asa, akhirnya aku mencoba mencari tahu, “Di mana aku?” “Di mana aku?” “Di mana aku?” “Di mana aku?”. Baru sekarang aku benar-benar merasakan perasaan “lelah”, perasaan yang dulu pernah kualami di suatu dunia yang lain, yang aku tidak juga sanggup untuk mengingatnya. Aku tercekik oleh siksaan jati diriku yang hilang. “Ohh…” Rasanya ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar yang sanggup sedikit membuatku ringan, rasanya ingin berteriak, tapi aku sadar aku tidak bisa bersuara. Sementara sepi…
Aku pun memutuskan untuk diam, pasrah, menerima apapun itu. Adapun sekarang aku berada dalam kehinaan putus asa, tak ada lagi hasrat untuk memberontak atas sirnanya jati diriku. “Tuan..!”, secara spontan aku memanggilnya bukan dengan suara, tetapi entah dengan bahasa apa, tetapi aku menangkap keyakinan dia mengerti dengan panggilanku. Aku seperti mengenal bayangan yang berkelebat di depanku dengan sangat cepat.

***

Aku secara reflek menoleh ke arah suara itu. Kakiku masih berdiri tegak tapi terasa lumpuh, satu hasta pun tak kuasa untuk melangkahkannya. Kurasakan matanya menatapku dengan keluguan, juga mengisyaratkan permintaan tolongnya kepadaku, dapat kubaca dari garis mukanya dia sedang mengiba. “Tuan.., tolonglah aku!” Paling tidak itu yang dapat aku tafsirkan.
“Tuan..!”, sekali lagi dia memanggilku. Panggilannya cukup dahsyat, menarik tanganku, menyeret tubuhku mendekat ke sisinya. Aku merasa gelisah, seperti dihakimi, ditelanjangi oleh pria yang tergolek tak berdaya ini. Kepalaku tertunduk, aku merasa malu yang begitu hebat, hatiku dalam perang baratayudha. Wajahnya yang begitu polos yang aku yakin tidak mengerti penderitaan batin yang aku rasakan, tidak mampu menutupi keresahan yang terpancar pada wajahku. Aku tidak bisa berbohong. Dia begitu bodoh.
“Tuan.., temani aku, karena di sini hanya tuan yang ada. Dan rasanya aku mengenal tuan, tapi aku sudah lupa. Tak penting bagiku untuk mengingat siapa Tuan.” Dia menambah satu lagi siksaan, dilematis. Aku ingin enggan menemaninya, tapi jika ia kutinggalkan sendirian dan beranjak pergi, itu juga akan menjadi siksaan baru dalam hatiku. Aku terdiam, tak kukatakan satu kata pun kepadanya. Kulihat dia tersenyum padaku, tampaknya dia yakin keinginannya telah terkabul.
“Terima kasih tuan...”, aku tampaknya begitu berarti di depannya. “Aku bingung tuan.., yang ku tahu tubuhku sekarang sudah penuh tikaman, itupun aku tak tahu kenapa. Ah.., itu juga tak penting, toh aku tidak merasakan sakit.” Dia terdiam, tetapi tetap tersenyum polos memandangnku. Aku bisa memahami bahwa dia sekarang begitu bahagia, mungkin karena aku menemaninya. Dia seperti seorang anak bayi yang ditemani ibunya sambil minum air susu ibunya, bahagia.
Semakin kurasakan ketidak adilan ini. Orang disampingku begitu tenang, bahagia, sementara aku semakin tersiksa, ya.., aku sekarang sedang dipermalukan dan dihakimi oleh diriku sendiri. Dan dalam perang perasaan itu, aku selalu kalah dengan diriku sendiri. Aku mencoba membidikkan “anak panah argumen”, tetapi selalu patah dan seperti biasanya aku tertikam oleh malu. Aku selalu kalah dengan aku yang lain. Betapa ribuan luka yang kualami yang pada akhirnya kepalaku tertunduk takhluk, tetapi mengapa aku selalu melawan meski aku yakin aku kalah. Tak kuasa rasanya aku dengan konflik batin seperti ini. Pria itu tetap tidak mengerti. Rasanya aku ingin mencampakkannya di sini saja, tetapi tubuhku telah dilumpuhkannya, dengan senyum polosnya, dengan perasaan membutuhkannya akan aku. Tak bisa kugerakkan tubuhku, meski hanya satu jariku.
Tuhan, inikah hukuman-Mu padaku, begitu pedih siksaan-Mu. Aku tahu ini balasan, tapi aku semakin sakit dengan aku yang tidak bisa merasa nglenggono, pasrah, menyadari, menerima ini. Aku menjerit sejadi-jadinya… Jeritanku seolah membangkitkan segala yang hidup, membakar apapun yang basah. Sesak…

***

“Tuan...! Ada apa tuan?”, sontak aku terkejut, pendengaranku semeling. Aku ingin mendekapnya, entah kenapa aku tak tahu. Tapi tubuhku masih terbujur, tak ada tenaga. Aku bingung, mencoba menebak-nebak apa yang sedang terjadi padanya, mungkinkah ia bersedih? Mungkinkah ia marah? Ku beranikan diriku, “Maaf, tuan kenapa?” Dia bungkam, sehingga aku enggan untuk bertanya lagi. Mulai kuyakinkan diriku bahwa pria di sampingku ini sedang bersedih. Kami dalam sepi, sepi tanpa kata, hanya mataku mencoba terus mencari tahu dan memahami apa yang sedang terjadi padanya. Dia membelakangiku, tampaknya tak berkenan aku melihat ronanya yang begitu sulit aku tafsirkan.

***







Matanya terus mengejarku, menikamku, mencabik-cabik hatiku. “Andaikan aku tidak terlibat dalam “konspirasi kereta kuda”, mungkin aku tidak tersiksa seperti ini. Andaikan aku tidak menyarankan pada dananjaya untuk melepaskan anak panahnya. Andaikan aku tidak sok bijak, dengan mengatakan “akulah yang bersalah”, pada Kunti. Tapi aku berterima kasih, aku di pihak yang benar walaupun aku salah. Aku tahu, kamu hanya melunasi baktimu pada orang yang membesarkanmu, dan kamu adalah manusia yang selalu sakit hati, selalu dianiaya. Saat bayi, kamu dicampakkan di sungai, dan kamu tumbuh dalam tidak adilnya stratifikasi kasta”, terus kuhujat diriku sendiri dalam hati. “Terima kasih Tuan..”, aku terkejut, suara itu menolehkan pandanganku…

***

“Aku khawatir tuan, jika putri salya memelihara lingkaran dendam dalam hatinya. Aku ingin berterima kasih pada tuan Kresna, karena akulah yang terbunuh dalam baratayudha, jika tidak, mungkin Arjunalah yang aku bunuh. Balas budi bukan urusan menang atau kalah. Aku sangat bersyukur akulah yang kalah. Ada kemenangan dalam kekalahanku” Masa laluku seolah kembali, aku ingat siapa aku, aku Adipati Karna.

***

Keringat dingin serasa mengguyur tubuhku, aku masih terbawa oleh mimpi. Aku renungkan, “Apa bedanya aku dengan Harya Sengkuni, hidup diliputi konspirasi?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar