Jumat, 07 Mei 2010

Muhsinul Authon
24 Oktober 2009

Untung Aku yang Dibunuh

Mataku terbuka. Tapi tak tahu persis, sedang apa aku ini. Rasa-rasanya tubuhku sedang terbaring lemah. Tak ada ikatan yang membelitku, tak ada pasung yang mengekangku, tapi tubuh ini rasanya benar-benar terbelenggu. “Ya, aku seperti terbaring”, gumam dalam hatiku. Kurasakan tawar dan hambar, sepertinya aku tidak tahu apa yang disebut panas dan dingin, tidak pula aku merasa tenang atau gelisah.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kenapa aku ini, bagaimana ini bisa terjadi, tapi setelah lama aku berupaya aku tidak ingat apapun. Aku coba lagi, tak sedikitpun sisa memori yang berhasil aku temukan. “Ah, ternyata begitu rumit aku untuk mengingat apa yang sedang terjadi, aku harus mulai dari hal yang sederhana dulu.” Aku mencoba mengingat siapa aku. “Siapa aku?” “Siapa aku?” “Siapa aku?” “Siapa aku?” Berkali-kali aku tanyakan pada diriku sendiri tapi tak menemukan. Aku putus asa, akhirnya aku mencoba mencari tahu, “Di mana aku?” “Di mana aku?” “Di mana aku?” “Di mana aku?”. Baru sekarang aku benar-benar merasakan perasaan “lelah”, perasaan yang dulu pernah kualami di suatu dunia yang lain, yang aku tidak juga sanggup untuk mengingatnya. Aku tercekik oleh siksaan jati diriku yang hilang. “Ohh…” Rasanya ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar yang sanggup sedikit membuatku ringan, rasanya ingin berteriak, tapi aku sadar aku tidak bisa bersuara. Sementara sepi…
Aku pun memutuskan untuk diam, pasrah, menerima apapun itu. Adapun sekarang aku berada dalam kehinaan putus asa, tak ada lagi hasrat untuk memberontak atas sirnanya jati diriku. “Tuan..!”, secara spontan aku memanggilnya bukan dengan suara, tetapi entah dengan bahasa apa, tetapi aku menangkap keyakinan dia mengerti dengan panggilanku. Aku seperti mengenal bayangan yang berkelebat di depanku dengan sangat cepat.

***

Aku secara reflek menoleh ke arah suara itu. Kakiku masih berdiri tegak tapi terasa lumpuh, satu hasta pun tak kuasa untuk melangkahkannya. Kurasakan matanya menatapku dengan keluguan, juga mengisyaratkan permintaan tolongnya kepadaku, dapat kubaca dari garis mukanya dia sedang mengiba. “Tuan.., tolonglah aku!” Paling tidak itu yang dapat aku tafsirkan.
“Tuan..!”, sekali lagi dia memanggilku. Panggilannya cukup dahsyat, menarik tanganku, menyeret tubuhku mendekat ke sisinya. Aku merasa gelisah, seperti dihakimi, ditelanjangi oleh pria yang tergolek tak berdaya ini. Kepalaku tertunduk, aku merasa malu yang begitu hebat, hatiku dalam perang baratayudha. Wajahnya yang begitu polos yang aku yakin tidak mengerti penderitaan batin yang aku rasakan, tidak mampu menutupi keresahan yang terpancar pada wajahku. Aku tidak bisa berbohong. Dia begitu bodoh.
“Tuan.., temani aku, karena di sini hanya tuan yang ada. Dan rasanya aku mengenal tuan, tapi aku sudah lupa. Tak penting bagiku untuk mengingat siapa Tuan.” Dia menambah satu lagi siksaan, dilematis. Aku ingin enggan menemaninya, tapi jika ia kutinggalkan sendirian dan beranjak pergi, itu juga akan menjadi siksaan baru dalam hatiku. Aku terdiam, tak kukatakan satu kata pun kepadanya. Kulihat dia tersenyum padaku, tampaknya dia yakin keinginannya telah terkabul.
“Terima kasih tuan...”, aku tampaknya begitu berarti di depannya. “Aku bingung tuan.., yang ku tahu tubuhku sekarang sudah penuh tikaman, itupun aku tak tahu kenapa. Ah.., itu juga tak penting, toh aku tidak merasakan sakit.” Dia terdiam, tetapi tetap tersenyum polos memandangnku. Aku bisa memahami bahwa dia sekarang begitu bahagia, mungkin karena aku menemaninya. Dia seperti seorang anak bayi yang ditemani ibunya sambil minum air susu ibunya, bahagia.
Semakin kurasakan ketidak adilan ini. Orang disampingku begitu tenang, bahagia, sementara aku semakin tersiksa, ya.., aku sekarang sedang dipermalukan dan dihakimi oleh diriku sendiri. Dan dalam perang perasaan itu, aku selalu kalah dengan diriku sendiri. Aku mencoba membidikkan “anak panah argumen”, tetapi selalu patah dan seperti biasanya aku tertikam oleh malu. Aku selalu kalah dengan aku yang lain. Betapa ribuan luka yang kualami yang pada akhirnya kepalaku tertunduk takhluk, tetapi mengapa aku selalu melawan meski aku yakin aku kalah. Tak kuasa rasanya aku dengan konflik batin seperti ini. Pria itu tetap tidak mengerti. Rasanya aku ingin mencampakkannya di sini saja, tetapi tubuhku telah dilumpuhkannya, dengan senyum polosnya, dengan perasaan membutuhkannya akan aku. Tak bisa kugerakkan tubuhku, meski hanya satu jariku.
Tuhan, inikah hukuman-Mu padaku, begitu pedih siksaan-Mu. Aku tahu ini balasan, tapi aku semakin sakit dengan aku yang tidak bisa merasa nglenggono, pasrah, menyadari, menerima ini. Aku menjerit sejadi-jadinya… Jeritanku seolah membangkitkan segala yang hidup, membakar apapun yang basah. Sesak…

***

“Tuan...! Ada apa tuan?”, sontak aku terkejut, pendengaranku semeling. Aku ingin mendekapnya, entah kenapa aku tak tahu. Tapi tubuhku masih terbujur, tak ada tenaga. Aku bingung, mencoba menebak-nebak apa yang sedang terjadi padanya, mungkinkah ia bersedih? Mungkinkah ia marah? Ku beranikan diriku, “Maaf, tuan kenapa?” Dia bungkam, sehingga aku enggan untuk bertanya lagi. Mulai kuyakinkan diriku bahwa pria di sampingku ini sedang bersedih. Kami dalam sepi, sepi tanpa kata, hanya mataku mencoba terus mencari tahu dan memahami apa yang sedang terjadi padanya. Dia membelakangiku, tampaknya tak berkenan aku melihat ronanya yang begitu sulit aku tafsirkan.

***







Matanya terus mengejarku, menikamku, mencabik-cabik hatiku. “Andaikan aku tidak terlibat dalam “konspirasi kereta kuda”, mungkin aku tidak tersiksa seperti ini. Andaikan aku tidak menyarankan pada dananjaya untuk melepaskan anak panahnya. Andaikan aku tidak sok bijak, dengan mengatakan “akulah yang bersalah”, pada Kunti. Tapi aku berterima kasih, aku di pihak yang benar walaupun aku salah. Aku tahu, kamu hanya melunasi baktimu pada orang yang membesarkanmu, dan kamu adalah manusia yang selalu sakit hati, selalu dianiaya. Saat bayi, kamu dicampakkan di sungai, dan kamu tumbuh dalam tidak adilnya stratifikasi kasta”, terus kuhujat diriku sendiri dalam hati. “Terima kasih Tuan..”, aku terkejut, suara itu menolehkan pandanganku…

***

“Aku khawatir tuan, jika putri salya memelihara lingkaran dendam dalam hatinya. Aku ingin berterima kasih pada tuan Kresna, karena akulah yang terbunuh dalam baratayudha, jika tidak, mungkin Arjunalah yang aku bunuh. Balas budi bukan urusan menang atau kalah. Aku sangat bersyukur akulah yang kalah. Ada kemenangan dalam kekalahanku” Masa laluku seolah kembali, aku ingat siapa aku, aku Adipati Karna.

***

Keringat dingin serasa mengguyur tubuhku, aku masih terbawa oleh mimpi. Aku renungkan, “Apa bedanya aku dengan Harya Sengkuni, hidup diliputi konspirasi?”
Muhsinul Authon
Ponorogo, 11 November 2009

Sudahlah…

Habis sudah dagangan Sudar yang ia bawa sejak subuh tadi. Walaupun masih pukul setengah sebelas, ia memutuskan untuk menghentikan laju sepeda motornya, menghentikan pada sebuah parkir rumah makan yang sebelumnya belum pernah ia kunjungi. Maklum, hari ini dagangannya laris manis, jadi ada uang lebih untuk sekedar menikmati makanan yang lebih enak. Disapu keringat yang mengalir di wajahnya, setelah menyandarkan helm bututnya di kaca spion kanannya, dengan handuk kecil yang sudah tidak jelas apa warna aslinya. Dengan langkah yang lelah, namun wajahnya menunjukkan ada kegembiraan—antara laba hari ini yang bisa dibilang lebih dan akan menikmati hidangan yang nama dan rasanya belum pernah dia kenal—dia memasuki rumah makan tersebut.

Dia seperti memasuki surga, selangkah memasuki rumah makan itu, sejuknya udara AC menyapu wajahnya. Memang, dia habis bertarung di tengah terik yang menyengat. Kepalanya menengok kanan-kiri, mencari tempat yang kosong. Tampaknya dia mengalami sindrom orang susah yang berada di tengah-tengah orang-orang yang kelas sosialnya lebih tinggi darinya, minder. Dilihatnya, ada beberapa orang polisi yang tampak duduk dalam satu meja, dengan tertawa-tawa tampak membicarakan sesuatu yang lucu. Ada juga orang-orang yang berpakaian coklat alias pegawai Pemda sedang menikmati makanannya. Di sisi lain, tampak sekeluarga yang terlihat cukup harmonis dan bahagia, dengan dua anak yang bermain-main;saling mengejar mengelilingi meja yang ditempati orang tuanya. Sudar menemukan di sisi pojok tampak ada tempat kosong, segera saja dia menuju ke sana.

Diambil dan dilihatnya dengan segera daftar menu, dia teliti satu-persatu. Pelayan menghampirinya, “Pesan apa Bapak?”. Sudar tampaknya tidak tahu pelayan cantik dan seksi itu sudah di sisinya, dia melongok ke arah pelayan itu dengan sedikit terkejut, “Sebentar Mbak”. Dia bingung memilih menu, bukan karena banyak pilihan menu yang lezat-lezat, tetapi karena banyak istilah yang baru dia kenal. Dia kemudian tersenyum, “steak ayam aja Mbak, sama es teh.” Memang, itulah satu-satunya menu yang sebelumnya pernah dia kenal dan dia rasakan walaupun hanya sekali. Dia tidak mau ambil resiko untuk memilih menu yang sama sekali belum pernah dia rasakan, dia tidak mau berspekulasi. Tampaknya pola pikir itulah yang selama ini akrab dengan Sudar dan orang-orang seperti dia, selalu memutuskan sesuatu pada titik aman, dengan tingkat resiko kecil, termasuk dalam prinsip ekonominya, sehingga kalaupun rugi kecil, dan untung pun juga kecil. Juga dalam memilih harga menu makanan. Ya.., cuma Rp 10.000,- saja.

***

Kunikmati sekali steak ayam ini sampai habis, walaupun bagiku makanan ini tidak membuatku cukup kenyang. Tapi hari ini aku cukup kenyang, dengan sedikit keuntungan yang akan aku bawa pulang, juga dengan pengalamanku mampir ke resto yang aku bilang cukup high class menurutku.

Setelah kuakhiri dengan hidangan penutup berupa sebatang Sampoerna Hijau, segera saja aku ke kasir, “Sudah Mbak, berapa Mbak?”. “O ya Pak, sebentar?” dengan tersenyum petugas kasir melayani dengan ramah, jauh sekali jika dibandingkan dengan petugas pelayanan KTP di kecamatan, apalagi petugas pelayanan SIM di Polres. Tampaknya profesionalitas lebih tampak di lingkungan swasta. “Kenapa negara ini nggak dibuat swasta saja ya? Hehehe…” “Meja nomer 12 ya Pak?” Petugas kasir itu mengagetkanku dari lamunan. “Ya Mbak.” Sambil menyerahkan struk, petugas itu memberitahukan, “Maaf Bapak, tadi bon-nya sudah dibayar sama Ibu yang duduk di meja 8, jadi Bapak nggak perlu mbayar lagi. Tapi barangkali kalau Bapak tadi nambah?” Aku bingung, segera kuarahkan pandanganku ke meja nomer 8. “Maaf Bapak, Bapak tadi barangkali ngambil makanan ringan?” “O ya maaf Mbak, nggak nambah Mbak, terima kasih Mbak.” Pandanganku masih tertuju pada meja nomer 8, kulihat ada sepasang suami istri dengan satu anaknya, aku merasa kenal wajah perempuannya, tapi siapa dia aku tidak ingat. Aku masih berdiri di depan kasir, hingga ada orang yang mengalihkan pandanganku dari meja nomer 8, “Mas, saya mau mbayar!” “O nggih Pak, maaf, silahkan.” Aku segera keluar, tapi tidak langsung pulang, aku sengaja duduk di pos satpam, terpikir untuk mencari tahu siapa perempuan tadi. “Pak Satpam, boleh numpang duduk sebentar”, aku ijin pada salah seorang satpam yang sedang berjaga. “O ya, silahkan Pak.” Aku penasaran betul, wajahnya, walaupun tadi cuma sekilas kulihat, aku merasa tidak asing. Sementara aku duduk di bangku dengan berbagai pertanyaan penasaranku pada perempuan di meja nomer 8 tadi, dua orang satpam tidak mempedulikanku, mereka asik berhadap-hadapan dengan buah caturnya. Sesekali mereka berhenti bermain untuk memberi aba-aba pada mobil yang akan diparkir.

Selang beberapa saat, seorang laki-laki dengan memakai baju safari coklat dengan membawa bungkusan tas kresek warna putih yang bertuliskan “PELANGI RESTO” keluar dari dalam rumah makan itu. Disusul seorang perempuan yang menggendong anak perempuannya. Aku sudah mendapati perempuan tadi, tak kubiarkan dia lepas dari perhatianku. Keluarga tersebut menuju ke sebuah Mitsubishi Gallant warna biru. Lelakinya membukakan pintu untuk perempuan dan anaknya tersebut, tetapi sesaat sebelum masuk secara tiba-tiba pandangan perempuan itu tertuju padaku.

Aku serasa kesetrum dengan arus ribuan volt, tatapannya tajam, tidak kuketahui menyiratkan makna apa, tapi mendadak aku dilempar ke masa laluku. Aku merasa iri, sekaligus dihina. Aku merasa tidak berharga sama sekali. Aku merasa nelangsa. Tubuhku rasanya lemas tak berdaya. Waktu beberapa detik sebelum dia memasukkan tubuhnya ke dalam mobil itu kurasakan terhenti begitu lama. Setelah menutup pintu mobil belakang, laki-laki itu masuk dan menyalakan mesin mobil dan melaju. Laju mobil yang meninggalkanku seolah kurasakan sama dengan perasaanku 15 tahun yang lalu, di mana aku merasa sendiri, sepi ditinggalkan.

Adzan dzuhur menyadarkanku, segera saja aku pamit pada Pak Satpam, “Pak, badhe pareng rumiyin, matur suwun.” “Nggeh Pak” dengan masih berkonsentrasi pada buah-buah caturnya, tampaknya satpam tersebut menjawab sebagai formalitas saja. Aku tidak langsung pulang, aku ingin mendinginkan otak dan hatiku, mampir ke sebuah masjid kecil tak jauh dari lokasi rumah makan tadi. Dan kebetulan sholat jama’ah belum dimulai. Setelah kuambil air wudlu, aku masuk dan mendirikan sholat tahiyyatal masjid dua rakaat. Sesaat setelah salam muadzin mengumandangkan iqomah, pertanda sholat jama’ah segera didirikan. Setelah salam, aku terdiam, tidak berdzikir juga tidak berdoa, pikiranku masih kalut dengan perempuan tadi. Baru tersadar ketika jama’ah di sebelah kananku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Tampaknya perempuan tadi telah menyita kekhusyu’an sholatku.

Aku kemudian berdoa sebentar semoga Allah segera memberikanku ketenangan. Setelah itu aku menuju serambi, menuju sebuah tiang dan menyandarkan tubuhku disana. Kurogoh sebungkus rokok dari saku celanaku, barangkali sebatang rokok bisa menenangkanku. Kunyalakan dan kuhisap dalam-dalam. Tubuhku terasa lemas sekali. Beberapa jama’ah sudah beranjak meninggalkan masjid, sedangkan sebagian tampak masih khusyu’ dalam dzikirnya, sebagian lagi mendirikan sholat sunnah. Tiba-tiba dari pintu plastren, aku sungguh dikejutkan dengan perempuan di rumah makan tadi. Tubuhku yang semula lemas, secara spontan mendapatkan energi untuk sesegera mungkin beranjak pergi.







“Mas Sudar, tunggu!” Perempuan itu memanggilku. Aku terus melangkah menuju sepeda motor bututku, tapi panggilan itu berhasil memalingkan pandanganku ke arahnya. Walaupun begitu aku terus berusaha melangkahkan kaki untuk segera pergi. Dia tampak berlari kecil menghampiriku. Aku tak mempedulikannya. Segera kustater motorku, tetapi didahului sambaran tangannya ke lenganku. “Ada apa lagi Rin?” Ya, perempuan itu bernama Rina, dia adalah bagian masa laluku. “Maaf Mas, kalau lancang. Aku sekedar pingin tau gimana Mas Sudar sekarang? Aku cuma pingin sedikit ngobrol sama Mas.” Tatapannya mengisyaratkan kerinduan, kepalanya mengangguk seperti memohon dengan sangat kepadaku. Perlahan tangannya mulai dilepaskan dari lenganku. “Mas Sudar..?”, Rina merengek. Aku masih terdiam. “Mas, aku tadi sudah terpaksa berbohong sama suamiku, aku bilang mau ngambil laporan di kantor yang ketinggalan. Nana pulang bareng bapaknya. Masa Mas Sudar mau pergi begitu saja.” Kali ini dia mengiba. Sepertinya aku mulai tidak tega pada Rina atau barangkali tanpa kusadari aku mulai tertarik dengan ajakannya karena mungkin tanpa kusadari pula ada kerinduan dalam hatiku. “Baiklah, tapi jangan di sini, nggak enak dilihat orang. Kita nyari tempat lain aja.”

Setelah menyetater motor, Rina segera naik. Kami pun beranjak dari halaman masjid itu. Di perjalanan, entah karena ada bagasi di belakang motorku dengan tulisan “SUSU SEGAR”,—bagasi yang terpasang tepat di atas lampu belakang—kurasakan, secara naluriah Rina berpegangan dengan erat di pinggangku, dan tubuhnya menempel di punggungku, padahal motorku hanya berjalan sekitar 40 km/jam. Jantungku melaju cepat melebihi kecepatan sepeda motorku. Tampaknya Rina tidak banyak berubah, dia masih perempuan agresif seperti yang aku kenal sekitar 15 tahun yang lalu. “Rin..!”, aku mencoba mengingatkannya. “Maaf Mas.” Tangannya mulai dilepaskan. Aku lihat di depan ada café, segera saja kuputuskan untuk berhenti di sana. “Di sini saja Rin.”

Kami sudah memilih satu meja, aku memesan kopi, “Mau minum apa Rin?” “Lemon Tea aja Mas.” Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mulai membuka obrolanku dengan Rina, “Gimana kabarmu Rin?” “Seperti yang Mas lihat, aku baik-baik saja. Mas sendiri?” “Seperti yang kaum lihat Rin.” Pesanan kami sudah datang, kunyalakan sebatang rokok dan mulai kunikmati bersama secangkir kopi.

Masih segar di ingatanku, bagaimana cantiknya Rina 15 tahun yang lalu, tidak banyak berubah. Usianya yang hampir menginjak kepala empat tidak banyak menambah kerutan di wajahnya, mungkin karena dia pandai menjaga pesonanya. Kuperhatikan gerak-geriknya, dari cara dia berbicara, tersenyum, ternyata masih juga sempat mempesonaku. Bahkan dari caranya dia minum, menurutku sangat mempesona. Itulah orang yang sedang jatuh cinta, atau lebih tepatnya yang pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang kemudian bertemu dengan gadis itu.
Rina dengan agak ragu-ragu mulai membuka obrolan, dan aku yakin cuma sekedar basa-basi,

“Mas sekarang kerja di mana?”

“Ya, cuma dagang susu Rin, keliling ke perumahan-perumahan. Kamu sendiri?”

“Aku kerja di Diknas Mas.”

“Syukurlah kalau gitu, sekarang kerjamu dah enak.”

“O ya Mas, anak Mas sekarang berapa?”

Aku terdiam sebentar, pertanyaan itu terasa menyiksaku, “Aku belum nikah Rin.”

“Maaf Mas.” Rina tampaknya merasakan apa yang kurasakan.

Entah karena apa, secara spontan aku mulai memberanikan diri untuk meluapkan isi hatiku pada Rina, “Sejak kamu pamit nikah, aku sempat frustasi selama hampir 3 tahun, kuliahku hancur, ibuku kecewa karena aku nggak berhasil sarjana. Setelah itu aku memutuskan untuk kerja saja, pikirku itung-itung ganti suasana, biar nggak terlalu stress. Sudah 12 tahun aku bekerja menjadi penjual susu keliling. Hmm.., aku juga pernah tiga kali mencoba menikah, tapi selalu gagal di tengah jalan. Kudengar dari beberapa temanku, kata orang tua mereka karena aku cuma bekerja sebagai penjual susu, nggak bisa menjamin masa depan. Sampai pada akhirnya aku putus asa untuk mencari istri, ya... karena umurku sudah 40 tahun, mana ada yang mau. Yang tua sudah habis, yang muda sudah pasti nggak mau. Sampai aku berpikiran, sudahlah.., kujalani apa adanya. Aku nggak berpikiran terlalu tinggi lagi.”

Rina menundukkan kepala, mengambil tisu dalam tasnya, dan mengusap air matanya. “Maafkan aku Mas.”

Minggu, 12 April 2009

ARTI BACAAN SHOLAT

بسم الله الرحمن الرحيم

Selain sebagai sarana mengingat Allah SWT (dzikir), sholat adalah sarana untuk berdoa dan sebagai penolong bagi orang-orang mukmin. Dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan sholat yang berkualitas atau khusyu’. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 45.

QS Al-Baqarah:45
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.”

Untuk mencapai kekhusyu’an dalam shalat, paling tidak/minimal kita harus memahami dan menghayati arti setiap apa yang kita baca dalam shalat tersebut.

Berikut tentang arti bacaan-bacaan dalam shalat.

SELAMAT MEMPELAJARI!

A. Takbiratul ihram

الله اكبر

(Allahu Akbar)

(Allah Maha Besar)

B. Doa iftitah
Di sini akan disajikan dua doa iftitah—tanpa bermaksud mewacanakan ikhtilaf yang ada.

1.
الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا. انى وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين . ان الصلاتي ونسكى ومحياي ومماتى لله رب العالين. لا شيك له وب ذلك امرت وانا من المسلمين



(Allahu akbar kabiiran walhamdu lillahi katsiiran, wasubhaanallahi bukratan wa ashiilaa. Inni wajjahtu waj hiya lilladzi fatharas samawaati wal ardha haniifam musliman wa maa anaa minal musyrikiin. Inna shalaati wa nusukii wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil ‘aalamiin. Laa syariika lahu wa bidzalika umirtu wa anaa minal muslimiin)

(“Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segenap puji bagi Allah dengan sebanyak-banyaknya dan Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore. Sesungguhnya saya menghadapkan mukaku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi. Dengan tulus ikhlas sebagai seorang Islam dan saya bukan termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi Allah dan demikian itulah saya diperintah dan saya adalah termasuk golongan orang-orang Islam.”)

2.
اللهم باعد بيني وبين خطاياي كما بعدت بين المشرق و المغرب . اللهم نقني من خطاياي كما ينقى الثوب الابيض من الدنس . اللهم اغسلني منخطاياي بالماء والثج والبرد

(Allahumma baa’id baini wabaina khataayaaya kamaa ba’adta bainal masyriqi wal maghribi. Allahumma naqqinii min khataayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadu minaddanasi. Allahumma ghsilnii min khataayaaya bilmaa’i watstsalji wal baradi)

(“Yaa Allah! Jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Yaa Allah! Cucilah kesalahan-kesalahan dan dosa-dosaku, bagaikan bersihnya kain putih dari kotoran. Yaa Allah! Cucilah kesalahanku dengan air, es dan embun.”)

Kemudian dilanjutkan ta’awudz

C. Ta’awudz
اعوذ ب الله من الشيطان الرجيم من همزه ونفخه ونفثه

(A’u dzubillahi minasy syaithaanir rajiim, min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi)

(Aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk dari kegilaannya, kesombongannya dan dari hembusannya)

Terkadang Nabi SAW menambahinya dengan

اعوذ ب الله السميع العليم من الشيطان الرجيم

(a’uudzubillahis samii’il ‘aliim minasy syaithoonir rajiim)
(Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha mendengar dari godaan syetan yang terkutuk)

D. Basmallah
بسم الله الرحمن الرحيم

(Bismillahir rahmaanir rahiim)

(Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang)

E. Al-Fatihah
1. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
2. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
3. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
4. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].
5. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
6. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]

[1] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[2] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[3] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[4] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[5] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[6] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[7] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[8] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Setelah membaca al-Faatihah, Rasulullah SAW membaca surah lainnya. Terkadang membaca surah panjang dan kadang surah pendek karena suatu penyebab seperti sedang dalam perjalanan, sakit batuk atau sakit lainnya.

F. Bacaan ruku’
1.
سبحان ربي العظيم
(Subhaana rabbiyal ‘adhiim)

(”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”)

2.
سبحان ربي العظيم وبحمده

(Subhaana rabbiyal ‘adhiim wabihamdih)

(”Maha Suci dan Maha Agung Allah, segala puji bagiNya”)

G. Bacaan i’tidal
سمع الله لمن حمده
(Sami’allahu liman hamidah)

(Allah mendengar orang yang memuji-Nya)

kemudian membaca doa

ربن ولك الحمد
(Rabbana walakal hamdu)

(Wahai Rabb kami, dan segala puji adalah milik-Mu)

H. Bacaan sujud
1.
سبحان ربي الاعلى
(Subhaana rabbiyal a’la)

(Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi)




2.
سبحان ربي الاعلى و بحمده

(Subhaana rabbiyal a’la wa bihamdih)

(”Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi dan segala puji bagi-Nya”)

I. Bacaan duduk di antara dua sujud

رب اغفرلي, وارحمني, واجبرني, وارفعني, واهدني, وعافني, وارزقني

(Rabbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii, wahdinii, wa’aanifinii, warzuqnii)

(Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah aku, angkatlah derajatku, berilah aku petunjuk, jadikanlah aku sehat dan berilah rizki)

J. Bacaan tasyahud (baik awal maupun akhir)

التحيات لله, والصلوات و الطيبات. السلام على النبي و رحمة الله و بركاته. السلام علينا و على عباد الله الصالحين. اشهد ان لا اله الا الله, و اشهد ان محمدا عبده و رسوله. اللهم صل على محمد و على ال محمد, كما صليت على ابراهيم, و على ال ابراهيم, انك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد, و على ال محمد, كما باركت على ابراهيم, و على ال ابراهيم, انك حميد مجيد.

(Attahiyyaatu lillaah, wash sholawaatu wath thoyyibaat, assalaamu ‘alan nabiyyi wa rohmatullaahi wa barokaatuh, asyhadu alla ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh, Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa sholaita ‘ala Ibroohiim wa ‘ala aali Ibroohiim, innaka hamidum majiid, Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa barokta ‘ala Ibroohiim, wa ‘ala aali Ibroohiim, innaka hamidum majiid)

(Segala penghormatan, pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan atas Nabi, begitu pula rahmat Allah dan barakah-Nya. Semoga keselamatan atas kami, begitu pula atas hamba-hamba-Nya yang shalih. Aku bersaksi tiada sesembahan yang haq melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Yaa Allah, berikanlah sholawat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Yaa Allah, berikanlah barakah kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan barakah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia)


K. Salam
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
(Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullaahi wa barokaatuh)

(Semoga Allah melimpahkan keselamatan, rahmat dan barakah-Nya kepada kamu sekalian)


Semoga bermanfaat!!!

Sumber:
• Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Sholat Nabi.
• Al-Markaz, VCD Sifat Sholat Nabi